Selasa, 22 Februari 2011

210211

Kau mungkin berharga untukkku
Dan aku mengakuinya
Kau mungkin lebih dari apa mereka bilang tentangmu
Dan aku menyadarinya
Kau mungkin tau betapa aku berharap sesuatu yang tidak mungkin
Dan aku pun benar-benar lelah
Awalnya aku hanya berpikir rasa itu sebatas emosi. Setiap tatapan mata yang bertemu antara aku dan kamu, membuatku semakin gila. Hanya itu saja. Kemudian hari-hari yang terlalui terasa menyenangkan dengan mendengar tawamu, nyanyianmu, berinteraksi denganmu. Namun semua itu hanya sejenak. Aku mendengar tawamu yang bukan bersamaku. Kamu jalan bersama namun tidak bersamaku. Kau mengucap cinta tapi tidak untukku. Terasa menyakitkan melihatmu ungkapkan cintamu. Tapi kata ‘selamat’ masih terucap dari bibirku. Kemudian hari-hari itu bergantii dengan malam-malam penuh tangis. Dan malam-malam itu berjalan hingga tak ku kira kini jadi tahun-tahun penuh harapan kosong.
Bodohnya aku yang menuliskan namamu di hatiku hingga membekas dalam bersama luka-luka yang tertoreh karenamu. Bodohnya aku yang tak bisa menghapus namamu meskipun telah kusayat hatiku sendiri. Sangat bodohnya aku yang mencintaimu dengan tulus meski aku tau kamu tidak akan pernah mencintaiku. Memang bodoh. Tak bisa aku menyalahkan cinta dan kamu.
Rasa ini perlahan membunuhku. Rasa ini juga perlahan menyiksaku. Membuatku menutup hatiku. Namun kini aku benar-benar lelah. Tidak aka nada lagi tangis untukmu. Tidak akan ada lagi namamu di hatiku. Jika itu yang kamu mau. Aku mengerti. Selama ini kamu terganggu dengan rasaku. Kamu piker aku tidak? Aku bahkan lebih terganggu dan amat menderita. Selama ini aku berusaha bersikap bagaimana layaknya aku bersikap. Memulai untuk memperbiki semuanya. Tapi acuhmu, membuatku muak dan berhenti. Maaf, aku tidak akan lagi mengingat apa itu tulus. Setelah semua yang kulakukan dan apa yang kamu lakukan. Aku tidak ingin membencimu, karena memang kamu tidak bersalah dan tidak berhak menerimanya. Tapi caramu benar-benar mengecewakan aku dan niatku. Aku menyerah. Jika memang teman pun kita tidak bisa, mungkin yang terbaik memang aku dan kamu tidak saling kenal.
GOODBYE FAITH…
GOODBYE FIRSTLOVE…
GOODBYE TEARS…
I QUIT… I KNOW I LOVE YOU BUT I HATE YOU MORE…
I’M SORRY…BUT PERHAPS IT’S FOR THE BEST….

Rabu, 16 Februari 2011

FIKTIF

Rentang waktu tak terbantahkan lagi
Untuk menguak kisah yang tak berawal
Bahkan waktupun terhanyut menikmatinya
Mengulur-ulur sendiri apapun yang menurutnya menarik
Meskipun episode-episode itu menyakitkan
Memandangnya dari mata yang berbeda
Menuju sebuah keselarasan rasa pesimis
Mengetahui semuanya hanyalah irisan asa semu
Mengelabui jalannya hati
Berlalu dengan lalu lalang dimensi hitam
Membuat semua semakin nyata
Bahwa kau dan aku adalah fiktif
Apakah seperti itu?
Bahkan waktu membiarkan kita berlalu
Tanpa ada kesempatan untukku
Menelusuri dan menelaah hatimu
Tanpa menyetujui segala khayalanku
Tak ada kesempatan untukku bertanya
Apakah aku pelengkap tulang rusukmu?
Tak ada kesempatan untuk asa itu melambung
Ia akan hanya berdiam di sini
Di bawah ketulusan yang slalu kuandalkan
Yang bahkan tak pernah tersadari
Waktu telah melahapku bersamanya
Bertahan untuk sebuah harapan kosong
Mencari sendiri arti bahagiamu bahagiaku
Bila saja kau di posisi ini
Akankah kau sepertiku?
Akankah kau tetap berpegang pada ketulusan itu?
Kurasa tidak
Egomu akan lebih berpihak pada kesempatan lain
Namun bagaimana dengan hati telah terlanjur mengukir namamu?
Biarlah aku dan waktu menyayatnya
Sakit memang….
Mungkin itu saja yang dapat kulakukan
Agar fiktif ini berakhir
Aku bahagia dengan orang lain
Aku menjadi kawanmu
Dan tidak ada lagi namamu dalam ukiran yang semakin dalam…
Andai semudah itu…

Doa Sang Pemimpi Cinta

Sesak ini…sakit ini…belum cukupkah Ya Allah????
Kalau memang bukan dia…kenapa Kau berikan rasa yang begitu dalam pada hatiku????
Ya Allah…
Engkau Maha Mengetahui…
Bagaimana malam-malamku kelam dalam tangisan untuknya??
Tapi mengapa masih Kau pertahankan rasa ini???
Aku tau aku harusnya bersyukur karena aku masih punya hati untuk mencintai…
Tapi bukan hanya untuk mencintai tapi juga untuk sakit…

Ya Allah…apa yang bisa aku lakukan untuk melupakannya???
Namanya, wajahnya, suaranya, tawanya..
Bagaimana aku melupakannya Ya Allah???
Aku tidak tahu lagi harus bertanya pada siapa…
Aku tidak tahu lagi siapa yang bisa menjawab setiap tanda tanya yang ada di pikiranku…
Hanya Engkau Ya Allah….
Aku percaya, rencanaMu itu indah dan besar…
Aku percaya….
Jika kau masih mengujiku dengan rasa cintaku pada dia,yang jelas sangat menyakitkan, maka yang bisa kulakukan hanya menjalaninya…
Ya Allah…aku mencintainya hanya semata-mata karena Engkau…
Engkau yang memberiku rasa ini, Engkau yang memberiku kekuatan sampai detik ini…
Aku mencintaiMu Ya Robb….
Melebihi cintaku pada siapapun….
KehendakMu di atas segalanya...
Kau yang berhak menganugerahiku cinta padanya dan Kau pula yang berkehendak mencabut cinta itu…
Jika memang jalanMu adalah aku berjodoh dengannya…maka berilah petunjukmu Ya Allah, agar sakit ini tidak berlama-lama lagi kurasakan, dan berilah ridhoMu slalu dalam langkah kami menjalani waktu demi waktu hingga saat ia menjadi imam nanti…
Namun jika memang aku bukanlah pelengkap rusuknya
Maka biarlah cinta ini menjadi kenangan dan pengingatku padaMu Ya Robb…
Serta berilah ia jodoh terbaik yang tulus dan ikhlas menerima kekurangannya serta mampu menjadi makmum yang baik untuknya…
amin...

04022011

“Kriiing….Kriiiiing”
Hey! Teleponmu berbunyi…

“Hallo!”…
……………………..
“ Lalu? Bagaimana dengannya?”
…………………….

Kututup telingaku
Betapa retaknya hati ini…..
Andaikan kau mengerti
Bagaimana jika aku menjadi pendengarnya

Betapa aku berharap menjadi kau
Kau yang bisa mendengar keluh kesahnya
Mendengar ceritanya tentang cinta
Maafkan aku sahabat…
Aku malu mengatakannya
Aku malu untuk berkata
Aku ingin ada di tempatmu
Aku ingin menjadi bagian dalam hidupnya
Meski hanya sebatas sahabatnya…
Aku ingin…
Entahlah…

Aku harus bersikap apa kini…..
Aku malu untuk menangis di depanmu
Tapi aku ingin meluapkan sesak ini
Sungguh….sakit di sini….
Aku berpura-pura tak mengerti apapun
Namun sungguh aku sakit…………
Aku malu untuk berkata
Aku iri padamu sahabat
Yang dapat tertawa bersamanya
Yang dapat menggenggam tangannya
Yang dapat memanggilnya…

Ya Tuhan…..
Maafkan aku…tapi mengapa kau anugerahkan rasa ini?
Semua ini menyakitkan……..
Andai semua tidak perlu sedalam ini…
Andai semua tidak serumit perasaanku ini
Andai ada kesempatan berada di sampingnya
Bukan untuk menjadi kekasih atau cintanya
Walau hanya sekedar menjadi sahabat atau temannya…
Sahabat…maaf aku hampir menangis lagi…

Tapi ini begitu mengingatkanku akan rasa itu…..
Rasa yang ingin ku menguburnya dalam-dalam
Bolehkah aku bicara dengannya?
Jangan! Aku tak akan mampu berkata apapun
Emosi ini telah merajai hatiku
Aku merindukan senyumnya
Meski itu bukan untukku
Aku rindu tawa candanya
Meski tawa canda itu bukan denganku
Aku rindu tatapannya
Meski itu bukan sengaja
Aku rindu mencuri kesempatan untuk memandangnya dari jauh
Meski ia bahkan tidak melihatku
Ya Tuhan……..
Apa yang aku pikirkan
Sahabat………..
Maaf…maaf…maaf…
Tapi aku benar-benar lelah dengan perasaan ini…
Maaf aku menangis……..
Aku tidak mampu membendungnya
Maaf karena aku masih menangisi ini semua…

Jumat, 04 Februari 2011

Kau dan Duniamu, Aku dan Duniaku

Seperti apa aku ini
Terlelap dalam malam-malam sepi
Menghitung coretan pena tanpa makna
Bahkan mimpi pun tak ada lagi menguatkan
Seperti itu kau kini
Membalut dirimu dengan segala kesanmu
Rona dirimu dapat kau pancarkan sekarang
Bermimpilah setinggi semua yang akan kau raih

Seperti aku dan duniaku
Menerobos angin yang ingin meniupkanku ke masa silam
Seperti kau dan duniamu
Membumbung tinggi di sana, menari, berdansa dalam bahagia
Seperti aku dan duniaku
Menyelinap dalam sudut ruang
Membusuk dengan kertas-kertas lusuh
Seperti kau dan duniamu
Merancang sendiri hidupmu
Menggunakan jarimu untuk memilih jalanmu
Duniaku tak seperti duniamu yang indah dan bermakna
Duniamu tak seperti duniaku yang gersang dan mati
Tersenyumlah, tertawalah..
Biar ku teguk sendiri pahit kenyataan ini...

Rabu, 02 Februari 2011

I can't change anything into anything...

semua terjadi dan terjalani begitu saja
semua mengalir dan teriringi begitu terjal
semua terimpikan dan terbayangi begitu sering
semua hanyalah semua yang tak pernah kita sadari

waktu mengalun begitu cepat
waktu membiasakanku begitu dewasa
waktu mengikatku begitu kencang
waktu menilaiku begitu salah

yang telah terjadi, biarlah saja seperti itu
aku tak dapat mengubahnya menjadi apapun yang aku mau
yang telah tersusun, jangan pernah robohkannya lagi
aku tak akan dapat menyusunnya lagi dengan susunan yang sama

aku hanyalah aku yang apa adanya
aku hanyalah aku yang seperti apa aku yang kamu lihat
aku hanyalah aku yang tak berpkir panjang
hingga aku adalah aku yang tak mampu mengubah sesuatu menjadi sesuatu...

kAnGeN

“ Adek…selamat malam! ”
“ Adek, kamu sedang apa?”
“ Adek, sudah makan?”
“ Adek, Mas ganggu ya malam-malam?”
“ Adek, selamat tidur ya!”

“ Adek, Mas telepon Adek ya?”
“ Adek, kok lama balasnya?”
“ Adek, sedang sibuk ya?”
“ Adek, Mas telepon kok tidak dijawab?”
“Adek, Mas kangen Adek!”
“ Adek, kok telepon mas ditolak?”
“ Adek, sudah lupa ya sama Mas?”
“ Adek?”
“…………………….”

Maaf Mas…
Bukannya Adek lupa, bukannya Adek tidak mau jawab
Tapi Adek sedang bingung Mas
Adek bingung dengan hati Adek
Semuanya rumit Mas di sana
Adek takut, karena belum bisa membuangnya yang ada di sana
Adek takut, karena Mas terlalu baik
Adek takut, kerena Adek tidak ingin Mas kecewa
Adek takut, karena Adek belum siap untuk kita
Tapi Adek juga takut
Karena ternyata sekarang
Adek juga kangen sama Mas….

Maaf Mas…
Bisa Mas datang lagi di hari-hari Adek?
Bisa Mas datang lagi di setiap malam-malam Adek?
Bisa Mas menguatkan Adek lagi?
Mas…
Aku kangen….

Demi Mereka

Dua puluh satu Agustus 18 tahun lalu. Aku hadir ke dunia baru ini. Dunia yang ternyata adalah akhir zaman. Aku terlahir sehat dari rahim seorang wanita. Wanita yang kemudian kupanggil ia ibu. Dengan peluhnya, sakitnya, teriaknya. Akhirnya aku menghirup udara baru. Begitu sakitnya hingga ia berkata, “Kalau anak ini perempuan, akan aku cubit dia!”.
Lucu sekali. Ternyata keluarlah aku bayi perempuan dan benar ia mencubitku. Namun cubitan itu tak terasa sakit sedikitpun. Tidak membekas. Tidak akan pernah sebanding dengan bagaimana ia berjuang melahirkanku bertaruh nyawanya.

Ia tidak sendiri, ada seorang pria yang mendampinginya. Pria ini terus membaca ayat-ayat indah Al-Qur’an. Hingga tiba saat aku mulai beradaptasi dengan dunia ini, ia kumandangkan adzan dan iqamah di dekat kedua telingaku. Merasuk kedalam hatiku, relungku, rongga-rongga tubuhku. Pria ini mengenalkanku dengan suatu hal yang amat berharga yaitu iman. Kemudian pada kelanjutannya, aku memanggilpria ini sebagai ayah. Betapa bahagianya mereka ketika melihatku lahir, tumbuh, mulai belajar berbicara, merangkak, duduk, berdiri, berjalan hingga mereka dapat melihatku berlari dan masuk ke sekolah dasar.

Tak terhitung berapa piring nasi, berapa gelas air, berapa helai baju, berapa banyak buku yang mereka beri padaku. Dengan penuh cinta, keadilan, pengorbanan mereka membesarkan aku dalam hari-hari bersahaja. Bersama doa mereka. Agar aku menjadi anak yang berbakti pada orang tua, berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Agar aku menjadi anak yang takwa dan selalu melangkah dalam lindungan Allah.

Seiring berjalannya waktu, kehidupan kami mulai ramai dengan kehadiran adik-adik lelakiku. Bagaimana indahnya kehidupan aku dan adik-adikku dalam hangat kasih sayang mereka, tak akan pernah terlukiskan. Bagaimana bijakasananya mereka menyelesaikan segala problematika dari sepele hingga serius, tak terbayangkan. Bagaimana mereka menutupi kesedihan mereka dihadapan kami anak-anaknya dengan senyumannya. Bagaimana mereka menutupi kekecewaan mereka ketika kami membantah apa yang mereka suruh. Bagaimana mereka menanggapi setiap keluhan kamu, mendengar setiap cerita kami, memaafkan setiap kesalahan kami. Bagaimana mereka mengorbankan segalanya demi agar kami dapat mendapat pendidikan yang layak, rumah yang layak, makanan yang bergizi, obat ketika sakit, apapun yang kami butuhkan. Kami bahkan tidak sanggup lagi untuk menuntut lebih. Karena kami takut, kami takut kami tidak dapat melakukan sesuatu yang dapat membahagiakan mereka.

Tuhan tahu, ketika Ibuku bangun dini hari menantang dinginnya air pegunungan. Demi bermunajat padaNya. Bersujud di bawah naungan gelapnya langit luar. Melantunkan ayat-ayat suci dengan fasihnya. Menengadahkan tangan memohonkan segala doa-doa terbaik untuk aku, adik-adikku dan ayahku. Tak tertelaah lagi ketulusan seorang ibu. Ia menangis untuk setiap kesakitan kami, kebahagiaan kami. Pelupuk mata yang semakin hari semakin gelap, melukiskan betapa beban itu menyelinap mengisi hari-harinya. Namun ia masih dan akan terus tersenyum untuk kami. Tuhanlah tempatnya mengeluh.

Tuhan pun tahu, ketika ayahku memeras otaknya hanya untuk menangani setiap problematika kami. Pemecahan setiap masalah kami. Sekali lagi, ia tak pernah mengeluh. Selalu tersenyum dan membuat kami tenang. Bijaksana dalam mengambil langkah-langkah untuk kami. Mengajarkan kami betapa pentingnya bersyukur. Mengajarkan kami pentingnya barjalan dengan lurus. Mengajarkan kami betapa Tuhan sangat adil. Memberikan restunya untuk setiap kebaikan yang kami lakukan.

Ya Allah… Aku mencintai mereka. Sangat mencintai mereka. Mereka yang tak pernah marah ketika ujianku mendapat nilai empat. Mereka yang tak pernah lelah mendoakanku yang sering kali lalai dan membantah mereka. Mereka tak pernah membiarkan kami terbebani dengan semua permasalahan internal. Mereka selalu berusaha agar kami tetap focus pada masa depan kami. Mereka tak akan pernah berhenti berusaha agar kami tetap mendapatkan apa yang kami butuhkan.

Ketahuilah, aku kini telah tumbuh menjadi gadis 18 tahun. Aku tidak buta dan tidak tuli. Aku tahu betapa ngoyonya mereka menyekolahkanku hingga jenjang ini. Juga menyekolahkan adik-adikku. Aku tahu betapa uang mampu menguasai segalanya. Aku mampu berbuat apa? Ketika aku berusaha menerima di mana aku berada sekarang, tiba-tiba terpatahkan hanya dengan “uang”. Tak ada yang kusesali mengapa aku harus ada di sini, hanya satu. Mengapa keadilan itu tidak kudapatkan di sini? Lalu bagaimana dengan aku yang sedang merangkak menelusuri asa-asaku. Bagaimana aku yang sedang membesarkan hatiku yang telah terjebak dalam ruang ini. Bagaimana aku yang sangat penuh keterbatasan ini menghadapi semua ini.

Aku hanya ingin satu. Membahagiakan orang tuaku. Aku bertahan di sini, karena mereka. Aku belajar di sini, karena mereka. Aku tidak lagi peduli bagaimana aku nanti. Yang aku peduli, adalah bagaimana aku mampu menciptakan senyuman dalam hari-hari orang tuaku. Bagaimana aku mampu mensukseskan adik-adikku. Hanya itu. Semua demi mereka. Aku akan tetap berjuang di sini, dalam doa mereka, dalam dukungan mereka. Karena semua demi mereka. Bukan siapapun, semua hanya demi mereka.