Dua puluh satu Agustus 18 tahun lalu. Aku hadir ke dunia baru ini. Dunia yang ternyata adalah akhir zaman. Aku terlahir sehat dari rahim seorang wanita. Wanita yang kemudian kupanggil ia ibu. Dengan peluhnya, sakitnya, teriaknya. Akhirnya aku menghirup udara baru. Begitu sakitnya hingga ia berkata, “Kalau anak ini perempuan, akan aku cubit dia!”.
Lucu sekali. Ternyata keluarlah aku bayi perempuan dan benar ia mencubitku. Namun cubitan itu tak terasa sakit sedikitpun. Tidak membekas. Tidak akan pernah sebanding dengan bagaimana ia berjuang melahirkanku bertaruh nyawanya.
Ia tidak sendiri, ada seorang pria yang mendampinginya. Pria ini terus membaca ayat-ayat indah Al-Qur’an. Hingga tiba saat aku mulai beradaptasi dengan dunia ini, ia kumandangkan adzan dan iqamah di dekat kedua telingaku. Merasuk kedalam hatiku, relungku, rongga-rongga tubuhku. Pria ini mengenalkanku dengan suatu hal yang amat berharga yaitu iman. Kemudian pada kelanjutannya, aku memanggilpria ini sebagai ayah. Betapa bahagianya mereka ketika melihatku lahir, tumbuh, mulai belajar berbicara, merangkak, duduk, berdiri, berjalan hingga mereka dapat melihatku berlari dan masuk ke sekolah dasar.
Tak terhitung berapa piring nasi, berapa gelas air, berapa helai baju, berapa banyak buku yang mereka beri padaku. Dengan penuh cinta, keadilan, pengorbanan mereka membesarkan aku dalam hari-hari bersahaja. Bersama doa mereka. Agar aku menjadi anak yang berbakti pada orang tua, berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Agar aku menjadi anak yang takwa dan selalu melangkah dalam lindungan Allah.
Seiring berjalannya waktu, kehidupan kami mulai ramai dengan kehadiran adik-adik lelakiku. Bagaimana indahnya kehidupan aku dan adik-adikku dalam hangat kasih sayang mereka, tak akan pernah terlukiskan. Bagaimana bijakasananya mereka menyelesaikan segala problematika dari sepele hingga serius, tak terbayangkan. Bagaimana mereka menutupi kesedihan mereka dihadapan kami anak-anaknya dengan senyumannya. Bagaimana mereka menutupi kekecewaan mereka ketika kami membantah apa yang mereka suruh. Bagaimana mereka menanggapi setiap keluhan kamu, mendengar setiap cerita kami, memaafkan setiap kesalahan kami. Bagaimana mereka mengorbankan segalanya demi agar kami dapat mendapat pendidikan yang layak, rumah yang layak, makanan yang bergizi, obat ketika sakit, apapun yang kami butuhkan. Kami bahkan tidak sanggup lagi untuk menuntut lebih. Karena kami takut, kami takut kami tidak dapat melakukan sesuatu yang dapat membahagiakan mereka.
Tuhan tahu, ketika Ibuku bangun dini hari menantang dinginnya air pegunungan. Demi bermunajat padaNya. Bersujud di bawah naungan gelapnya langit luar. Melantunkan ayat-ayat suci dengan fasihnya. Menengadahkan tangan memohonkan segala doa-doa terbaik untuk aku, adik-adikku dan ayahku. Tak tertelaah lagi ketulusan seorang ibu. Ia menangis untuk setiap kesakitan kami, kebahagiaan kami. Pelupuk mata yang semakin hari semakin gelap, melukiskan betapa beban itu menyelinap mengisi hari-harinya. Namun ia masih dan akan terus tersenyum untuk kami. Tuhanlah tempatnya mengeluh.
Tuhan pun tahu, ketika ayahku memeras otaknya hanya untuk menangani setiap problematika kami. Pemecahan setiap masalah kami. Sekali lagi, ia tak pernah mengeluh. Selalu tersenyum dan membuat kami tenang. Bijaksana dalam mengambil langkah-langkah untuk kami. Mengajarkan kami betapa pentingnya bersyukur. Mengajarkan kami pentingnya barjalan dengan lurus. Mengajarkan kami betapa Tuhan sangat adil. Memberikan restunya untuk setiap kebaikan yang kami lakukan.
Ya Allah… Aku mencintai mereka. Sangat mencintai mereka. Mereka yang tak pernah marah ketika ujianku mendapat nilai empat. Mereka yang tak pernah lelah mendoakanku yang sering kali lalai dan membantah mereka. Mereka tak pernah membiarkan kami terbebani dengan semua permasalahan internal. Mereka selalu berusaha agar kami tetap focus pada masa depan kami. Mereka tak akan pernah berhenti berusaha agar kami tetap mendapatkan apa yang kami butuhkan.
Ketahuilah, aku kini telah tumbuh menjadi gadis 18 tahun. Aku tidak buta dan tidak tuli. Aku tahu betapa ngoyonya mereka menyekolahkanku hingga jenjang ini. Juga menyekolahkan adik-adikku. Aku tahu betapa uang mampu menguasai segalanya. Aku mampu berbuat apa? Ketika aku berusaha menerima di mana aku berada sekarang, tiba-tiba terpatahkan hanya dengan “uang”. Tak ada yang kusesali mengapa aku harus ada di sini, hanya satu. Mengapa keadilan itu tidak kudapatkan di sini? Lalu bagaimana dengan aku yang sedang merangkak menelusuri asa-asaku. Bagaimana aku yang sedang membesarkan hatiku yang telah terjebak dalam ruang ini. Bagaimana aku yang sangat penuh keterbatasan ini menghadapi semua ini.
Aku hanya ingin satu. Membahagiakan orang tuaku. Aku bertahan di sini, karena mereka. Aku belajar di sini, karena mereka. Aku tidak lagi peduli bagaimana aku nanti. Yang aku peduli, adalah bagaimana aku mampu menciptakan senyuman dalam hari-hari orang tuaku. Bagaimana aku mampu mensukseskan adik-adikku. Hanya itu. Semua demi mereka. Aku akan tetap berjuang di sini, dalam doa mereka, dalam dukungan mereka. Karena semua demi mereka. Bukan siapapun, semua hanya demi mereka.